http://supermilan.wordpress.com
“Sayuuuurr… Sayuuuuuurrr…”. Setiap pagi, teriakan Agus, si pedagang sayur keliling di lingkungan rumah saya memecah keheningan pagi. Sontak, ‘klien-kliennya’ langsung berdatangan. Ada yang beli bayam, ada yang minta daging, tempe juga banyak peminatnya. “Gus, kok harganya naik nih. Kemarin cuma sepuluh ribu. Sekarang udah sepuluh ribu seratus ajah”. Saya yang ikut mendengarnya hanya tersenyum. Seratus perak saja kok diributkan.
Mungkin banyak kaum pria seperti saya yang sering heran dengan kengototan wanita menawar barang. “Bukannya kita pelit kok. Tapi kalau bisa dapet murah, kenapa bayar mahal”. Begitu alasan mereka kalau ditanya. “Lagian sejuta kurang seratus juga ga genep sejuta kan” Hahaha makin ngeles saja jawabnya.
“Yah bu, sekarang mah apa apa mahal. Bensin mahal. Belum lagi sekarang musim pancaroba. Petani banyak yg gagal panen. Jadi stok sayur di pasar induk berkurang”. Waduh makin canggih aja nih si agus. Tidak kalah ngelesnya dengan ibu-ibu pembeli.
Seiring hari yang semakin siang, makin banyak ibu-ibu yang berbelanja. Sepertinya hari ini jualan agus laris manis. Setelah sepi pembeli, agus pun berlalu mencari tempat lain untuk menjajakan dagangannya.
Ya, hanya di Indonesia lah adanya pedagang keliling seperti Agus. Sampai-sampai majalah National Geographic edisi September 1955, reporter Beverley M. Bowie menulis kondisi Jakarta saat itu. “Terdapat banyak toko di Jakarta. Tetapi anda tidak perlu mendatangi semua. Cepat atau lambat, semua barang akan mendatangi pintu depan rumah. Pedagang keliling yang memikul barang jajaan yang terpasang di kedua ujung batang bambu tidak hanya membawa daging, tahu, ikan, telur, dan sayuran. Tetapi juga panci dan penggorengan, furnitur, kain batik, minuman ringan, mainan dan penganan.”
Kini, lebih dari 50 tahun kemudian, fenomena pedagang keliling pun masih ada di negara kita. Seiring waktu, jumlahnya makin banyak dan makin bervariasi. Medianya pun beragam. Tidak hanya menggunakan pikulan bambu. Ada yang pakai sepeda, gerobak, hingga motor.
Di daerah kami, bahkan ada pedagang peralatan rumah tangga dengan mobil bak terbuka setiap pagi keliling kampung dengan pengeras suara. “Parabot parabot.. Ibu ibuuuu.. Parabot buuu.. Parabot parabot..”. Mulai dari ember, sapu, panci sampai sabun colek semua tersedia. Dulu di Boulevard UGM, setiap minggu pagi ramai pedagang yang menggelar jualannya di atas kap mobil. Makanan, baju, sepatu, dsb. Entah sekarang, karena saya sudah lama tidak ke Jokja.
Untuk itulah, kita sebagai warga Indonesia selayaknya bersyukur dengan fenomena ini. Dalam buku Naked Traveler, Trinity secara apik menggambarkan pengalamannya bertualang ala backpacker ke banyak negara. Saat berlibur di suatu negara (maaf saya lupa negara mana), kebetulan hari itu sedang ada perayaan besar jadi banyak restoran tutup. Warung pizza pun tidak ada yang buka secuil pun. Mau masak, di hostel tidak ada kompor. Alhasil kelaparan sepanjang malam.
Bandingkan dengan di Indonesia, tiap saat ada pedagang yang keliling menjajakan makanan. Pagi ada bubur kacang hijau. Siang ada es cendol. Sore giliran siomay dan pecel. Malam hingga dini hari banyak tukang nasi goreng dan abang bakso.
Pokoknya di Indonesia, dijamin tak pernah kelaparan deh! Asal ada duit tentunya
Artikel : Super Milan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar