Minggu, 02 Oktober 2011

Gengsi Jadi Anak Tukang Bakso


Cerita ini pernah saya tulis di note Facebook.com beberapa tahun yang lalu. Alhamdulillah, saya mendapat banyak pelajaran dari kejadian ini. Mensyukuri nikmat Allah Ta’ala, dan tidak menggugat takdir Allah Ta’ala. Berikut saya sajikan kembali ceritanya dengan sedikit perubahan gaya bahasa dan tata bahasanya tanpa mengurangi makna. Semoga bermanfaat
Ketika pulang kampung beberapa tahun yang lalu, seperti yang aku perkirakan akan tiba di rumah jam 9 malem. Benar juga akhirnya aku sampai rumah jam kurang lebih jam 21.00 WIB. Lumayan lelah perjalan yang menempuh waktu 8 jam antara Yogya sampai Kediri. Hal itu membuat perutku menjadi keroncongan. Aku jadi teringat tetanggaku yang jualan nasi goreng sebelah..”Cabut aah..”
Tapi kok lama banget ya bikin nasi gorengnya, sudah menunggu satu jam ini kok belum jadi-jadi juga nasi gorengnya. Alhamdulillah ada tetangga yang datang membeli jahe anget di warung ini, akhirnya ada yang ngajak ngobrol juga. Soalnya dari tadi bengong melulu.

Aku mengawali pembicaran karena usiaku yang muda dengan pembeli yang tak lain namanya mas Wagiran, abang tukang bakso keliling kampung kami, Alhamdulillah beliau sudah mempunyai 3 putra.

“ Bagaimana kabarnya mas? “ Tanyaku basi-basi.
“ Apik-apik wae ( baik-baik aja)” jawab dia.
Kami bercanda ria, guyonan ala orang-orang tua..biasalah kami lama jarang ketemu, soalnya aku lama merantau ke Yogya.
Tiba-tiba dia bertanya, “ Yang di Yogya tu siapa aja tho? Kamu sama adikmu yang cewek itu ya? “.
“ Iya mas” Jawabku.
” Wah biasalah mas, aku anak pertama jadi harus bisa membantu orang tua untuk biaya adik di pondok dan sekolah, jadi ya punya tanggunganlah.” Imbuhku.
Tiba-tiba dia curhat tentang anaknya yang pertama yang baru kelas 3 SMP, ”Wah si Azis (anaknya) itu sekarang susah banget, diminta membantu bapaknya tidak mau, kemaren aku suruh Bantu jualan bakso saja si Azis marah-marah, kata Azis dia malu sama temen-temennya jualan bakso.” Keluh mas Wagiran. “ Emang anak jaman sekarang itu aneh-aneh saja.“ Tambah dia.
“Ah mas, itu mah sudah banyak anak-anak kayak gitu, di suruh Bantu orang tuanya saja susahnya minta ampun, kadangkala dia seneng membanding-bandingkan orang tua temennya, gengsi luar biasa mas, hehehehe..” Aku balas menjawabnya.
“Oya, gimana ya? Sekarang mendidik anak-anak kok susah banget, kebanayakan mereka tidak peduli dengan keadaan orangtuanya, padahal kami cari uang setengah mati, tapi anak-anak kok ngeyel ( mbalelo) kalau di perintah orangtua suka membantah..waah itu kenapa ya?” Ratapan mas Wagiran yang makin prihatin sama anaknya.
Tiba-tiba aku teringat sebuah artikel yang memuat seorang kisah yang membuatku semangat untuk menjadi seorang calon seorang ayah ( ibu ).
Lalu aku berusaha untuk berpikir sejenak untuk memberi motivasi buat mas Wagiran tentang mendidik anak ( hehehehe padahal aku juga belum punya anak dan belum menikah waktu itu)
“ Mas !! “ aku coba membuka kembali obrolan yang sempat terputus beberapa puluh detik, “Oya mas, sebenarnya aku sorry banget mas..bukan maksudku menggurui, tapi insya allah ini hanya sebuah bagian dari motivasi kita untuk menghantarkan putra-putra kita agar bisa menjadi lebih baik..”
“ Apa itu Nan ( aku di rumah panggil Minan ).” Mas Wagiran yang lagi mulai tanda tanya.
” Begini mas,,menjadi orang tua itu insya Allah jika mendidik anak dengan sabar akan menui pahala, kadang kala kesabaran itulah yang sangat kita perlukan. Sampean tahu mas keadaan keluarga kami juga sama seperti keluarga mas Wagiran, bapakku sekarang sudah tua, juga tidak produktif lagi, apalagi masalah harta, jangan tanya mas, kami serba pas-pasan. Tapi kami berusaha untuk solid saling memahami keadaan dan tanpa banyak menuntut..”
“ Oya mas..aku kemarin membaca sedikit artikel (saya lupa sumbernya dari mana, karena waktu itu masih SMU) yang mungkin bisa buat mas berpikir ulang cara dalam mendidik anak yang baik. Begini ceritanya mas!:
Pada suatu hari ada seorang ibu-ibu setengah baya naik pesawat menuju ke sebuah kota untuk menjenguk anaknya yang ragil ( terakhir ) yang baru di wisuda di universitas terkemuka. Lalu di samping ibu itu ada seorang bapak-bapak.
Bapak itu memulai pembicaraan ke sang ibu. “Mau kemana bu?”
“Saya mau menjenguk putri yang baru wisuda pak.” Jawab sang ibu dengan ramah.
Wah...selamat ya bu!! Pasti ibu bangga dong bisa menghantarkan putrinya jadi orang sukses? Kuliah dimana putri ibu?” Tanya sang bapak.
“Dia kuliah di universitas Z pak.”
Woow..hebat banget bu, pasti ibu bangga dong? apalagi kuliahnya di kampus bonafit.” Seloroh sang bapak. “Emang anak ibu berapa?”
“Anak saya tiga pak! Yang wisuda ini anak yang terakhir, trus yang kedua sekarang di Singapura.” Terang sang ibu.
Waah!! Hebat banget ibu..pasti ibu bangga sama mereka berdua? Sukses semua bu!!…Lalu anak yang pertama dimana bu? Pasti lebih sukses lagi?” Cerocos yang bapak yang takjub sama sang ibu
“ Anak yang pertama saya laki-laki pak, sekarang dia di desa..ngurus kebun-kebunnya..dia jadi petani kok pak.” Jelas sang ibu.
“ Loh kok jadi petani bu?” Tanya sang bapak ke heranan dan tidak percaya. “Waah tentunya ibu sangat kecewa dan tidak bangga dengan anak ibu yang pertama ya?” Imbuh sang bapak.
Oooh …jangan salah pak!! Saya lebih bangga pada anak pertama saya daripada adik-adiknya.”
Sang bapak tambah heran lagi, “ Loh kok bisa bu?”
“ Taukah pak, karena anak saya yang pertamalah yang berjuang membiayai adik-adiknya kuliah dan mengangkat derajat mereka, dengan keringatnyalah dia menjadikan adik-adiknya menjadi orang yang sukses.”
Subhanallah.
Ahh.. ternyata sudah malem juga ya..karena aku baru datang dari yogya dengan kondisi kepayahan, akhirnya aku pamit ke mas Wagiran untuk undur diri, mau istirahat dulu.
Itulah sekelumit obrolan kami bersama mas Wagiran yang anaknya gengsi dengan status anak tukang bakso.

Diambil dari artikel blog saya: http://sabartanpabatas.wordpress.com/2011/09/26/gengsi-anak-tukang-bakso/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar